Metroseksual adalah sebuah istilah baru,
sebuah kata majemuk yang berasal dari paduan dua istilah: metropolitan dan
heteroseksual. Istilah ini dipopulerkan pada tahun 1994 untuk merujuk kepada
pria (khususnya yang hidup pada masyarakat post-industri, dengan budaya
kapitalis) yang menampilkan ciri-ciri atau stereotipe yang sering dikaitkan
dengan kaum pria homoseksual (seperti perhatian berlebih terhadap penampilan),
meskipun dia bukanlah seorang homoseksual. Istilah ini memicu perdebatan
seputar penanda teoritis dekonstruksi seksual serta hubungannya dengan
konsumerisme.
Asal mula
Istilah ini dipelopori oleh artikel yang
ditulis oleh seorang wartawan bernama Mark Simpson. Artikelnya diterbitkan pada
tanggal 15 November 1994, di harian The Independent. Simpson menulis:
“Pria
Metroseksual, pria lajang belia dengan pendapatan berlebih, hidup dan bekerja
di kawasan perkotaan (karena disitulah toko-toko terbaik tersedia), mungkin
adalah pasar produk konsumen yang paling menjanjikan pada dekade ini. Pada
dekade 80-an pria seperti ini hanya dapat ditemukan di dalam majalah fashion
seperti GQ, dalam iklan televisi jeans Levi's atau dalam bar gay. Pada dekade
90-an ia ada di mana-mana dan ia gemar berbelanja.”
Istilah
ini semakin populer dengan munculnya artikel Simpson's Salon.com pada tahun
2002 "Meet the metrosexual", yang mendaulat David Beckham sebagai
poster boy (model) pria metroseksual. Biro iklan Euro RCSG sedunia mengadopsi
istilah ini sebagai studi pemasaran, serta New York Times menerbitkan tulisan
ficer Minggunya, "Metroseksuals Come Out"; tulisan ini menyebar ke
seluruh Amerika Utara dan semakin memopulerkan istilah ini.
Definisi
oleh Simpson's Salon.com lebih memiliki nuansa daripada pengertian umum istilah
ini.
“Ciri khas metroseksual adalah pria muda yang
memiliki uang untuk dibelanjakan, hidup dekat atau di metropolis - karena disanalah
terletak toko, klub, pusat kebugaran, dan penata rambut terbaik. Ia bisa saja
seorang gay, heteroseksual, atau biseksual, akan tetapi ini hanyalah imaterial
belaka, karena nyatanya ia lebih mencintai dirinya sebagai obyek cinta,
kenikmatan, dan pilihan seksualnya. Profesi tertentu seperti model, pelayan
restoran, media, industri musik, dan olahraga tampaknya menarik bagi kaum ini,
akan tetapi sesungguhnya seperti herpes, produk gengsi (atau produk kegenitan)
untuk pria ada di mana-mana.
Setelah sekian lama, heteroseksualitas yang
tidak berpelembab, tertindas, kuno dan (re)produktif kini telah diberi slip
merah jambu oleh kapitalisme. Pria kokoh yang penuh penyangkalan diri,
sederhana dan rendah hati, jarang berbelanja untuk dirinya sendiri (peran utamanya
adalah mencari nafkah dan mendapat uang untuk dibelanjakan istrinya), kini
digantikan oleh pria baru, seseorang yang kurang yakin dengan identitasnya dan
lebih tertarik pada citra dirinya sendiri - hal ini untuk menyatakan, seseorang
yang ingin dilihat dan diperhatikan (karena dengan demikian anda baru yakin
bahwa anda itu ada). Seorang pria, dengan kata lain, yang menjadi impian bagi
para pengiklan”
Gaya hidup
Dalam
perkembangannya, konsep metroseksual mengarah kepada gaya hidup pria perkotaan
modern yang berpenghasilan lebih dan sangat peduli kepada penampilan dan citra
dirinya. Gaya hidup ini berkait erat dengan konsumerisme, kapitalisme dan
bahkan dengan perilaku narsisme. Pria metroseksual menaruh perhatian lebih
kepada penampilan, ia cenderung memiliki kepekaan mode dan memilih pakaian
berkualitas atau bermerek, serta memiliki kebiasan merawat diri (grooming) atau
kebiasaan-kebiasaan yang dahulu lazim dikaitkan dengan kaum perempuan. Misalnya
menyukai kosmetik untuk pria, pergi ke salon atau spa, atau melakukan perawatan
tubuh seperti perawatan rambut, kuku dan kulit. Karena merupakan pasar
potensial bagi berbagai produk yang dikhususkan bagi kaum pria, konsep
metroseksual menjadi penting dalam industri fashion dan kosmetik pria, serta
dunia pemasaran dan periklanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar